Minggu, 20 Maret 2011

Teman setia yang selalu membersamai kita

Rasululloh pernah bersabda, sebagaimana diabadikan oleh al Bukhari-Muslim dalam shahihnya, “Yatba`u l-mayyita tsalâtsatun, fa yarji` itsnâni wa yabqâ wahidun, yatba`uhu ahluhu wa mâluhu wa `amaluhu, fa yarji`u ahluhu wa mâluhu wa yabqa `amaluhu, ada tiga hal yang mengiringi mayit, yang dua akan kembali sedangkan yang satu akan selalu menyertai. Keluarga, harta dan amalnya akan mengiringinya, lalu keluarga dan hartanya kembali sedangkan amalnya setia membersamai.” (HR. al Bukhari-Muslim).



Dalam karya masterpiecenya, Hilyatu l-Auliya’, Abu Nu`aim al Ashbahani berkata, “Ada seseorang yang memiliki tiga teman istimewa. Sebagian dianggap lebih istimewa dari yang lain. Suatu kali ia tertimpa suatu masalah. Ia pun mendatangi teman pertamanya yang paling istimewa, lalu berkata, “Wahai fulan, saya sedang menghadapi masalah, aku ingin kamu bisa membantuku.” Teman pertama itu menjawab, “Aku tidak bisa membantumu.”
Ia pun beranjak menuju teman kedua yang diistimewakan setelah teman pertama, lalu ia berkata, “Wahai fulan, aku sedang menghadapi masalah, aku ingin agar kamu sudi membantuku.” Teman keduanya ini menjawab, “Baiklah, aku akan mengantarmu ke tempat tujuan, tapi setelah itu aku akan pulang meninggalkanmu.” Orang itupun mendatangi temannya yang ketiga, lalu berkata, “Wahai fulan, aku sedang menghadapi masalah, aku berharap kamu bisa membantuku.” Teman ketiganya ini menjawab, “Baik, aku akan menemanimu kemanapun kamu pergi, dan aku akan ikut kemanapun kamu masuk.”


Kemudian Ubaid bin Umair menjelaskan, “Teman pertama adalah perumpamaan bagi harta yang dimiliki seseorang, yang sama sekali tidak mengikutinya saat ia mati. Teman kedua adalah keluarga dan kerabatnya, yang hanya mengantar sampai kuburannya saja, lalu pulang meninggalkannya. Sedangkan teman ketiga adalah amalnya, yang akan selalu menyertainya kemanapun ia pergi dan kemanapun ia masuk.”


Begitulah…., pada umumnya kita meng’anak tirikan’ amal shaleh, padahal ia lah yang kelak setia membersamai kita di alam barzah dan alam akherat. Ia selalu setia dan menjadi saksi bagi kita. Maka “fa man kâna yarjû liqa’a rabbihi fal ya`mal `amalan shalihan, siapa yang mengharap perjumpaan dengan rabbnya maka hendaklah ia beramal shaleh.” (al Kahfi : 110) sebelum kelak kita menyesal. Kiranya kisah pertaubatan Malik bin Dinar, seorang tabi`in, yang diabadikan oleh Ibrahim bin Abdullah al Hazimi dalam bukunya at Taibuna ilallâh yang diterjemahkan menjadi Izinkan aku menangis di depan-Mu, Rabb !! (Indiva press, hal. 137-139), bisa kita jadikan pelajaran betapa hanya amal shaleh sajalah yang bisa menyelamatkan kita, kelak.


Mari kita mendengar penuturan beliau langsung, “Dahulu aku adalah seorang penjaga keamanan yang sangat gemar meminum minuman keras’ Kata Malik bin Dinar mengawali ceritanya, “Aku lantas membeli seorang budak wanita yang sangat mahal harganya, dan aku jatuh cinta kepadanya. Akhirnya ia melahirkan anak perempuan yang sangat kucintai. Tatkala ia bisa merangkak, aku makin mencintainya dan dia pun mencintaiku. Jika aku menaruh minuman keras di hadapanku, dia mendekat kepadaku dan menariknya hingga tumpah di bajuku. Kala usianya genap dua tahun, dia meninggal. Aku sangat sedih karena kehilangan dia.”


Ia melanjutkan, “Pada malam nishfu Sya`ban yang bertepatan dengan malam Jum`at, aku minum khamer dalam jumlah yang sangat banyak sehingga aku mabuk dan langsung tertidur sebelum sempat mengerjakan shalat Isya’. Kemudian aku bermimpi melihat hari kiamat benar-benar telah terjadi. Sangkakala telah ditiup. Para penghuni kubur telah dikeluarkan, dan semua makhluk sudah dikumpulkan, termasuk aku. Tiba-tiba aku merasa ada sesuatu di belakangku. Rupanya seekor ular yang sangat besar dan berwarna hitam kebiru-biruan tengah membuka mulutnya dan berjalan ke arahku dengan cepat. Aku langsung berdiri dengan sangat cepat di depannya dengan rasa takut yang luar biasa. Di tengah jalan, aku berpapasan dengan seorang pria tua yang mengenakan pakaian sangat bersih, dan berbau sangat harum. Aku mengucapkan salam dan dia menjawabnya. Lalu aku memulai pembicaraan, “Tuan, selamatkanlah aku dari ular ini, mudah-mudahan Allah nanti akan menyelamatkan anda.”


Orang tua itu malah menangis dan mengatakan, “Aku lemah, dan ular itu lebih kuat dariku. Aku tidak mampu melawannya. Pergilah, dan larilah lebih cepat lagi, siapa tahu Allah akan mengirimkan orang yang bisa menyelamatkanmu.”


Aku berlari lagi dengan sangat cepat dan naik ke salah satu daerah tertinggi yang ada di hari kiamat. Di sana aku melihat lapisan-lapisan neraka dan kengeriannya. Aku hampir terjatuh ke dalamnya karena takut kepada ular tersebut. Tiba-tiba ada seseorang yang memanggil, “Kembalilah, kamu bukan termasuk penghuninya!” Aku percaya pada ucapannya dan aku kembali. Namun ular itu kembali mengejarku. Aku menemui orang tua tadi dan mengatakan, “Tuan, aku telah meminta anda menyelamatkanku dari ular ini namun anda tidak mau.”


Orang tua itu menangis dan mengatakan, “Aku lemah. Pergilah ke gunung itu. Di sana ada barang-barang titipan umar Islam. Jika kamu mempunyai bagian, dia pasti akan menolongmu.’


Aku melihat sebuah gunung berbentuk bulat yang terbuat dari perak dengan beberapa lubang yang menganga dan beberapa tirai yang menjuntai. Setiap lubang dan jendela mempunyai dua daun pintu yang terbuat dari emas merah yang berengsel mutiara yang disepuh berlian. Setiap daun pintu ditutup dengan tirai yang terbuat dari sutera. Aku langsung berlari ke arahnya sementara ular tadi terus mengejarku. Saat itu aku telah berada di dekatnya, para malaikat memberikan perintah, “Angkat tirai itu, dan bukalah pintunya ! siapa tahu orang ini memiliki barang titipan yang bisa menyelamatkan dirinya dari musuhnya.” Sekonyong-konyong tirai-tirai tersebut telah diangkat dan pintu-pintunya telah dibuka. Lalu dari lubang-lubang tersebut, beberapa anak kecil yang berwajah seperti bulan menatapku, namun ular tadi semakin mendekat kepadaku. Aku bingung memikirkan apa yang harus aku lakukan. Salah seorang dari anak-anak itu berseru, “Ayo, cepat selamatkan dia ! Musuhnya sudah semakin mendekat.”


Kemudian mereka mendekatiku secara bergelombang dan aku mendapati putriku yang telah meninggal ikut bersama mereka. Saat melihatku, ia MENANGIS dan berteriak, “Ayah !” lalu dia melompat dalam bungkusan cahaya secepat anak panah hingga berada persis di hadapanku. Kemudian dia menjulurkan tangan kanannya ke tangan kananku hingga aku bisa bergantungan kepadanya, dan dia memberi isyarat dengan tangan kirinya kepada ular tersebut hingga ia pun lari tunggang langgang.


Lalu, anakku memintaku duduk, dan ia duduk di pangkuanku dan mengelus-elus jenggotku dengan tangan kanannya, lalu ia mengatakan, “Ayah, ‘alam ya`ni li l-ladzîna âmanû an takhsya`a qulûbuhum li dzikrillâh, belumkah tiba masanya bagi orang-orang beriman agar hati mereka tunduk mengingat Allah? (al Hadid : 16).”
Aku menangis dan menanyainya, “Anakku, kalian mengetahui al Qur’an ?”

“Ayah, kami lebih mengetahuinya daripada kalian.”

“Kamu tahu ular besar yang hendak menelanku tadi?”

“Itu perbuatan jahat ayah, yang ayah perkuat sehingga ia ingin menenggelamkan ayah ke dalam neraka Jahannam.”

“Terus, lelaki tua yang berpapasan denganku di tengah jalan ?”

“Itu perbuatan baik ayah yang ayah perlemah sehingga ia tidak mampu melawan perbuatan jahat ayah.”

“Anakku, apa yang kalian lakukan di gunung ini ?”

“Kami adalah anak-anak umar Islam yang ditempatkan di sini hingga hari kiamat nanti. Kami menanti kedatangan kalian untuk memberi syafa`at kepada kalian.” –sebagaimana tersebut dalam shahih Muslim, hadits nomor : 2635, “Seorang pria memberitahu Abu Hurairah, “Dua anak laki-lakiku meninggal, apakah kamu mempunyai satu hadits dari Rasululloh tentang orang mati yang bisa membuat kami tenang kembali –tidak sedih-?” Abu Hurairah menjawab, “Ya, beliau pernah bersabda, “Anak-anak kecil mereka menjadi penduduk surga dan akan menyambut ayahnya seperti aku memegang ujung bajuku ini. Lalu ia terus memegangnya hingga Allah memasukkannya dan juga bapaknya ke dalam surga.”


Aku langsung bangun karena kaget dan bergegas membuang minuman keras, memecahkan wadah-wadahnya dan bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla. Begitulah kisah taubatku.” Ucap Malik bin Dinar mengakhir kisah taubatnya.


Saudaraku…, janganlah meremehkan kebaikan, sekecil apapun itu, karena yang kecil itu akan membuatmu tersenyum bahagia. Fa satadzkurûna mâ aqûlu lakum, kalian akan mengingat ucapanku ini. Percayalah…,


--- Catatan ini hanya sebagai pengingat diri untuk mempersiapkan lebih banyak bekal untuk kehidupan sesudah mati. Semoga bermanfaat. Akhukum fillah.----

Tidak ada komentar:

Posting Komentar