Rabu, 25 Mei 2011

Belajar dari Hewan

Wa inna lakum fi l-an`âmi la ibra(tan),

dan sesungguhnya pada binatang ternak betul-betul terdapat pelajaran bagi kalian.” (an Nahl : 66)

Ayat-ayat al Qur’an hanya diperuntukkan bagi orang-orang berakal, dan mau menggunakan nalarnya. Tak terkecuali surat an Nahl ayat 66 di atas. Akhir dari penggalan ayat ini tercantum pada ayat selanjutnya, ayat 67 yang ditutup dengan, “Inna fî dzâlika la âyatan li qaumi y-ya`qilun, sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang-orang yang berakal.” Abu Muhammad al Husain bin Mas`ud atau yang lebih dikenal dengan Imam al Baghawi dalam kita tafsirnya, Ma`alimu t-Tanzil, menerangkan, “Wa inna lakum fi l-an`ami la ibrah, yaitu bukti yang bisa kalian jadikan pelajaran.” Selanjutnya, Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf bin Ali bin Yusuf bin Hayyan dalam kitabnya, Tafsiru l-Bahri l-Muhith, menjelaskan, pembuka ayat “Wa inna lakum fi l-an`âmi la ibra(tan)” sesuai dengan penutupan firman-Nya, “Ya`qilun.” Karena tidak ada yang bisa mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal sebagaimana firman-Nya, “Inna fî dzâlika la ibratan li uli l-albâb.”


Allah berfirman, “Wa inna lakum fi l-an`âmi la ibra(tan), dan sesungguhnya pada binatang ternak betul-betul terdapat pelajaran bagi kalian.” (an Nahl : 66). Ibrah. Ya, pelajaran. Dengan merenungi binatang ternak, kita akan mendapatkan pelajaran. Pelajaran, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam al Qurthubi, yang menunjukkan ke-Mahakuasaan, keesaan dan keagungan Allah. Ibnu Katsir melengkapinya dengan, “La ayatan wa dalalatan `ala qudrati khaliqiha wa hikmatihi wa luthfihi wa rahmatihi, benar-benar ada tanda kekuasaan dan bukti akan kekuasaan, kebijaksanaan, kelembutan dan kasih sayang Penciptanya.” Ini akan bisa dirasakan oleh orang berakal yang peka dan mampu mengeja setiap pelajaran dalam episode hidupnya di alam dunia, termasuk interaksinya dengan binatang ternak yang ada di sekelilingnya.

Ayat yang diabadikan oleh Allah dalam al Qur’an ini tentu sangat penting bagi manusia. Kisah Qabil menjadi salah satu buktinya. Dalam surat al Ma’idah : 27-31, Allah mengisahkan dua anak adam, yaitu Qabil dan Habil. Endingnya, Qabil membunuh saudaranya, Habil. Malangnya, Qabil tidak bisa mengetahui bagaimana cara mengubur jenazah Habil. Ia membawa kesana-kemari di atas punggungnya hingga jenazah Habil membau, sampai-sampai burung-burung pemakan bangkai bersiap dan menanti dimanakah Qabil akan membuang jenazah saudaranya yang selalu diletakkan di atas punggungnya selama –sebagaimana pendapat Ibnu Abbas yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsiru l-Qur’ani l-`Azhim-nya— setahun lamanya. Ia tidak tahu-menahu apa yang harus ia perbuat dengan jenazah itu, dan kemudian ia meletakkannya di atas bumi. Tak lama berselang, Allah mengirimkan burung gagak yang menguburkan temannya yang mati. Melihatnya, Qabil berucap penuh sesal, “Aa`jiztu an akûna mitsla hadza l-ghurâb fa uwâriya sauata akhî, aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” setelah itu, Qabil menguburkan Habil sebagaimana burung gagak itu mengubur temannya. Qabil mendapatkan pelajaran terpenting itu dari seekor burung gagak. Ya, dari seekor hewan. Dari makhluk yang tidak dikaruniai akal sebagaimana manusia. Tetapi itulah uniknya. Hewan justru memberikan banyak pelajaran berharga kepada manusia. Persis sebagaimana tersebut dalam ayat di atas. “Wa inna lakum fi l-an`ami la ibra(tan)”, dan sesungguhnya pada binatang ternak betul-betul terdapat pelajaran bagi kalian.” (an Nahl : 66). Sungguh, Mahabenar Allah atas semua firman-Nya.

Ada satu kisah menarik yang pernah dipaparkan oleh Ibnu Qayyim al Jauziyyah. Katanya, “Dulu, pernah ada seorang lelaki –semoga Allah memberinya hidayah—mempermainkan seekor semut kecil. Ia meletakkan kaki belalang sebagai umpannya. Semut kecil itu tak mampu membawanya. Lalu ia memanggil teman-temannya, tetapi kaki belalang itu tidak ada karena diangkat oleh lelaki itu. Semut kecil itupun kebingungan, dan ia berusaha meyakinkan teman-temannya, dan membuktikan bahwa ia tidak bohong. Temannya seolah mendiamkan. Dan kembali tanpa menggubris semut malang ini. Ketika semut kecil ini sendirian, si lelaki tadi mengembalikan kaki belalang yang tadi diangkatnya. Si semut terkejut, dan hatinya girang karena kaki belalang itu benar-benar nyata dan ia tidak sedang bermimpi. Ia kembali ingin mengangkat sendiri, dan membuktikan kepada teman-temannya. Karena tidak kuat, ia memanggil teman-temannya lagi. Malang. Ketika teman-temannya datang, lagi-lagi kaki belalang diangkat. Mereka mencari kesana-kemari tanpa melihat sesuatu apapun. Yang lebih terpukul, tentu semut kecil yang dianggap sebagai pendusta oleh teman-temannya. Teman-temannya pun kembali ke tempat tinggal mereka dengan hati penuh kecewa. Semut kecil itu bersedih. Di tengah kesedihannya, kaki belalang itu dikembalikan lagi. Kali ini, ia berusaha mengangkatnya sendiri. Dengan sekuat tenaga, ia kerahkan semuanya. Tapi sia-sia. Ia tidak mampu, bahkan menggeserpun tidak sanggup apalagi mengangkat sendiri. Dengan terpaksa, ia memanggil teman-temannya untuk ketiga kalinya. Teman-temannya pun datang memenuhi panggilannya. Tetapi lagi-lagi, ketika sampai tempat yang dimaksud, mereka tidak mendapatkan apa-apa. Kosong. Tidak ada ‘mangsa’ yang dijadikan bekal makanan mereka karena kaki itu lagi-lagi diangkat. Akhirnya, mereka mengadili semut kecil yang dianggap sebagai pendusta ini. Tetapi semut kecil ini bermohon belas kasihan, dan meyakinkan bahwa ia tidak pernah berbohong, bahkan niatan hati untuk itupun tidak pernah ada. Tetapi mau bagaimana lagi? Ia betul-betul tidak bisa menjawab teman-temannya. Akhirnya, ia merelakan teman-temannya menghukum dirinya. Masing-masing semut menarik kaki semut kecil yang tak berdosa ini. Satu per satu kakinya terputus. Setelah itu, mereka meninggalkannya sendiri.” Ah, sedih mengingat kisah ini. Betapa jujurnya seekor semut dibandingkan manusia. Sekalipun dianggap bersalah, ia tetap yakin bahwa ia JUJUR, tidak bohong. Tetapi konsekwensi dari kejujuran harus berbayarkan kaki buntung sana-sini. Dari semut, kita banyak mendapatkan pelajaran. Kesetiakawanan, kebersamaan, tolong menolong dalam suka dan duka, pantang menyerah, dan juga kejujuran.

Apa makna ibrah yang tercantum dalam an Nahl ayat 31 di atas? Jawabannya disebutkan oleh Imam al Qurthubi dalam al Jami’ li ahkami l-Qur’an. Katanya, “Wal `ibratu ashluhâ tamtsilu s-syai’ bi s-syai’ li tu`rafa haqîqatuhu min thariqi l-musyâkalah, asalnya ibrah adalah mentamsilkan sesuatu dengan sesuatu yang lain agar hakikatnya bisa diketahui berdasarkan penyerupaan.” Dalam tafsir Fî Zhilâli l-Qur’an, Sayyid Quth pun menjelaskan, “Fîhâ `ibratun li man yanzhuru ilaihâ bi l-qalbi l-maftûhi wa l-hissi l-bashîr, wa yatadabbaru mâ warâ’ahâ min hikmatin wa min taqdirin, dalam binatang ternak tersebut ada ibrah (pelajaran) bagi orang yang melihatnya dengan hati yang terbuka dan indra yang berbashirah, dan bagi orang yang merenungi rahasia disebaliknya berupa hikmah dan takdir.”

Tulisan ini hanyalah berupa tamsil dan pelajaran dari sekelumit hewan yang bisa kita jadikan pelajaran. Mudah-mudahan kita mendapatkan manfaat sebagaimana bermanfaatnya informasi yang diberikan burung Hudhud kepada orang yang disegani jin dan manusia pada saat itu, Nabi Sulaiman `alaihis salam. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar